Jumat, 31 Juli 2015

TV KITA




         
Tahukah anda bahwa bangsa Indonesia adalah  bangsa yang paling sedikit membaca? Kita lebih banyak menonton televis. Bayangkan, dengan 200 juta lebih penduduknya, setiah hari hanya ada 4 juta Koran. Berarti, 1 koran dibaca 50 orang. Di Jepang, 1 orang membaca 4 koran, tapi di Indonesia jumlah pesawat televise konon ada 50 juta. Berarti setiap 4 orang Indonesia memiliki 1 pesawat televisi. Di rumah-rumah kumuh pinggir kali pun tampak ada pesawat televisi, bukan?
          TV di Indonesia ini paling bebas di dunia: ada 12 saluran nasional plus saluran lokal. Gratis semua. Negara-negara maju (katakanlah amerika dan inggris) hanya ada 4-5 channel gratis nasional yang di setiap negara bagian berafiliasi dengan channel lokal. Selebihnya adalah TV kabel, yang kalu nonton mesti bayar dulu. Jadi, kalau mau nonton video klip yang isinya perempuan setengah telanjang (seperti di MTV) pemirsa mesti langganan. Mau menjejali anak-anaki dengan film-film kartun sepanjang hari, mesti langganan. Siapa bilang pemirsa AS lebih bebas dari pada di Indonesia? Indonesia adalah surga: ada televisi menyihir anak-anak kita dengan film-film kartun sepanjang hari, gratis. Ada televisi menayangkan penyanyi dangdut yang memutar-mutar pantatnya dengan wajah merem melek, jam tujuh malam saat anak-anak belajar dan mata mereka tersedot ke layar kaca.
          Membodohi pemirsa
Sinetron Indonesia? Hadir setiap hari, bahkan sehari beberapa kali. Di semua channel, sinetron kita berisi ajaran-ajaran yang justru tidak mendidik (wahai para artis, kalian memang sedang berdakwah akan tetapi apakah dakwah anda sudah sesuai dengan agama anda?) lihat saja, ibu tiri atau ibu mertua selalu kejam, ibu kandung selalu lemah tak berdaya, istri cerewet atau teraniaya, suami berselingkuh, wanita karir culas, rekan kerja curang, anak-anak remaja berkelahi rebutan pacar, murid-murid berani pada gurunya, gadis-gadis hamil di luar nikah.
          Sinetron kita tampaknya tidak mencerminkan diri kita, saudara/ keluarga kita, kawan kita, tetangga kita, atau orang di sekitar kita. Karakte/ tokoh kebanyakan orang-orang yang sangat kaya, cantik, tampan, modis, keren, seksi. Bahkan, antara ibu, nenek dan anak perempuan/ cucunya sama mudanya(benar-benar menganggap bodoh pemirsa)
          TV dan nasib bangsa
          Cerita sinetron biasanya penuh dengan intrik dan pembalasan dendam, adegan-adegannya melanggar norma agama, lelaki dan perempuan yang bukan  suami istri berpelukan dan berciuman dengan bebasnya. Gadis hamil di luar nikah ditampilkan secara biasa yang harusnya tabu dan menjadi aib. Ending cerita diolor-olor, diperpanjang agar dapat tetap tayang. Padahal ceritanya kemudian menjadi tidak masuk akal, sangat melecehkan intelektual masyarakat
          Adakah dampaknya bagi generasi muda, terutama hubungannya dengan ajran dan pemahaman agama mereka? Jelas ada, banyak anak-anak muda sekarang membawa hp y ang kegunaannya hanya untuk menelepon pacarnya. Para mahasiswi ke kampus dengan jeans ketat dan kaus tank top. Mereka lebih hafal lagu barat dari pada shalawat nabi
          Perubahan nasib bangsa terletak di tangan kita, bila ingin generasi muda kita lebih baik dari diri kita, mari kita berhenti menonton sinetron yang tidak berbobot. Lebih baik kita lebih banyak membaca buku. Buku menambah wawasan dan meningkatkan pengetahuan, sedangkan sinetron sebaliknya,  berdakwah dan berjuang ternyata bisa dilakukan dengan sederhana, yaitu dengan tidak menonton sinetron yang menyesatkan, kita membentuk kepribadian dan moral bangsa untuk 10-30 tahun ke depan.

qasanalbana@yahoo.com
 

Jumat, 24 Juli 2015

THE GREEN BIRDS



THE GREEN BIRDS

Bassam. My one and only brother, he just died this morning. His body scattered (terpecar2) to piece. A bomb did the job; blood, flesh (daging), bones, a complete mess. But, my mom-a woman with strong face and a beautiful pair (sepasang) of eyes- was as happy as when my father, Khalid, met his Creator three years ago. No tears (air mata). Just a lovely smile and long prayers at night. Don’t ask why- I seriously have no idea. When all in this world believed in something such as “mom always love their children more than anything”, but here it seemed to be different. My mom didn’t look that way. Was it true? Did my mom hate my brother- and sincerely (sungguh2) let him blew himself up (meledakkan) to pieces?. But, wahat about my dad?. Did she hate him, too?
            Both my dad and brother were handsome men.they had nice-treated beard (beard: janggut, jenggot), quite tall, and loads of strong spirit to kick Israeli troop (pasukan/tentara). Both also got reported and covered in Al-Jazeera mujahid, CNN. Al-Jazeera called them: another suicide bomber. They sometimes dubbed (memberi julukan, ex: they dubbed me “mbah darmo”) such palestian ‘soldier’ as terrorist-a title never given to the obvious (jelas,nyata) terrorist, Jewish government. Of course it made me confused. Different meaning exist between mujahid and suicide bomber. Which one was telling me the truth?
            My mom said it was useless (tak berguna) hopping for the world to be fair- who was the bad guy, who was the good guy, they would never let us know. She again tried to convince (meyakinkan) me: all we have to do is fight back. No matter what label the international media would decide to use for our fight fo freedom; just fight and fight.  Whenever I asked her where she got the energy, my mom would just look away and fix her eyes up at the sky and mumbled (berkomat-kamit). I often didn’t capture (menangkap)  her words, and I would ask ger brother go easily. My mom smiled. She replaced the word energy with Allah.  Allah did it- He gave ger the power. Not like rain-drops, but through her beloved husband, Khalid Ahmad.
            My father? My mom would mention his name with the fullest of love as if he was still beside her now. But, was it true? I could never be certain. Did he really love my dad? If she did, why then she smiled when he got blown up to pieces? I dare my self to ask such question to her. I knew  I would not get any clear answer if I was keeping it at all to myself. But before I do so, I had asked for her permission and forgiveness. My mom seemed to not catch “it” right-until I spelled what I had in mine. After I had finished the line, my mom looked a bit pale (pucat). May be she was shock. May be she thought it was about the time to tell what’s going on around her. I was 9-year-old at the time. But I was not a child anymore.
            “I love them, husain. Never doubt that for a bit,” she sounded so sad. I started to feel guilty. But, when I said that she has no pressure to continue, my mom refused. She then told me about Heaven, Allah, and Mujahid. What Rasulullah said about mujahid, how noble their position are, how Allah loves them much. That’s why Palestinians were very eager to go against the Israelis. Even stones-not bullet(peluru)-were enough to fight with, and then meet your fate(takdir/nasib), see Him in heaven, as quickly as possible.
            “Besides, I never lost your father’s love, Husain,” she confessed. Syifa has always believed that Khalid bever left her. He’s not really dead. He’s still alive. My eyebrow were becoming closer, my forehead wrinkled. How come?
            My mom stepped into our house. I stood up and followed her. My mom entered her room. I decide to wait. Not long after, she came out with a pieces of paper on her hand. My mom sat on an old chair we had and handed the letter over to me.
            “What’s this, Ummi?”
            “It’s from your father.”
            “A letter?”
            “Read it.”
            “Are you sure? It is not personal then? It’s for me?”
            My mom nodded (Nod/mengangguk tanda setuju). She then insisted me again to start opening and read it. “It’s also for you. You will find the answer to your questions like “what-kind-of answer-this-letter-would-give”, I started to read the letter, line by line.
            To Syifa…
            How are you today? Ah, silly question, isn’t?. you know perfectly well: I’m not good in making letter. You do remember the past, don’t you? When the time to write or speak to our neighbor or else, to negotiate or else, you were and always will be the expert. I really can count on you.
            But, now, I must do it my self. I don’t use special technique. I was just counting on my tiny skill. I don’t know about those writing theories. I would just be honest and write everything crossed in my brain.
            Syifa, today is my final. After this morning, insya Allah, I would never see you again in this world. I don’t believe I’m writing such letter to you- al least in the beginning of our married. I always have beautiful dreams for us. For our children. For our future…and still do. I never get rid of those thoughts in my mind. As your husband and a father to our beloved sons, I would make the dreams come true with my syahid. It feels funny I make promise when I soon would be a breathless meat. But I believe that you believe: my death is the sweetest way to guarantee our afterlife. I don’t know if there’s another way or not. But, in this world, how my dreams would be real? Our land is torched. Our life is torched. We, Palestinians, are sick with the Israelis-that’s for sure. We must fight. We must face our nightmares with braveness. Even if the risk is getting injured, or wounded by bullet or even death.
            Jihad is my choice. No one forced me to do it. I realize that I must fight back. I never asked those Jews to disturb us. I never asked them to insult our prophet, Al-Qur’an, Al Aqsa, and Islam-but they did, do, an will. For once in my life, I feel really angry and sure could do anything to make Israel pays what they’ve done. I know that you know what I know you perfectly know. But our kids, Bassam and Husain have no idea what their father were doing in the past. People would name me bad. I want to explain them that what I do is for our happiness. Allah loves mujahid. He gives His mercy and heaven to us if we dare enough to defend Islam.
            Syifa, may be you still worry and feel sad about my death. My life may be over soon in this world. But, I will be still alive beside my God. Your God, Ours. Allah Azza wa Jalla would take care of me, insya Allah. Don’t be sad too long. If you want to cry, I would do the same if I were you. But don’t do it more than three days. On the fourth day, start a new day with our children. Teach them about Islam. Teach them why Moslem should help other Moslem. Teach them that death is only about time. We all would die. All living creatures will-even angels and the devil. It’s not important when we die. It’s how we die.
            Last, I only want to say: I love you. I always be with you. I’m not dead, once more. May be not by your side. But I do live somewhere else. With the green birds that bring all mujahid souls, angels, so close to Arsy, and Allah. It would be nice. I shall wait you there, Syifa. Tell to our children: I’m ok. They don’t need to worry about me. They don’t need to worry about my promise. Insya Allah….I still remember and shall keep it until the time comes-the right moment to fulfill my words to our family.
            Allahu Akbar
            Khalid Ahmad
            I closed the letter. My mom hugged me and whispered me the birds were real. They really came, picking up my dad and Bassad, then brought them to reside besides Allah.


Malang, 25 Juli 2015
                                                                                                                                                                                                                                              

Rabu, 22 Juli 2015

FOKUS GURU


     Kita kenal lima tokoh dalam pewayangan jawa yaitu Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa. Kelima tokoh tersebut memiliki seorang guru, dalam sebuah kesempatan belajar, sang guru hendak memberikan pelajaran berharga tentang memanah kepada semua muridnya. Masing-masing dipanggil satu persatu secara acak. Sang guru telah menyiapkan panah beserta busurnya dan sasaran yang hendak dituju adalah seekor burung yang sedang hinggap di dahan sebuah pohon.
            Pada kesempatan pertama, sang guru memanggil Bima. Instruksi yang diberikan sang guru kepada Bima adalah tolong panah burung yang ada di atas tersebut. Bima pun bergegas mengambil panah dan anak panah ditarik 20 cm kebelakang sembari memejamkan mata kirinya. Sebelum melepaskan anak panah, sang guru bertanya kepada Bima apa yang kamu lihat?. Bima menjawab dahan, daun, burung, dan buah. Mendengar jawaban tersebut, sang guru segera memerintahkan BIma untuk meletakkan busur panah tersebut. kemudian sang guru memerintahkan kembali Bima untuk mengambil panah dan memanah burung yang berada di atas pohon. Seperti halnya yang pertama dilakukan sang guru, beliau bertanya kepada Bima ketika hendak melepaskan anak panah. Apa yang kamu lihat?. Jawaban Bima tetap sama, hingga kesempatan ketiga jawaban Bima tetap sama. Maka sang guru memerintahkan Bima melatakkan panah dan meninggalkan tempat latihan.
            Pada kesempatan kedua, sang guru memanggil Nakula. Kejadian yang sama dialami oleh Nakula. Nakula juga menjawab pertanyaan sang guru ketika hendak melepaskan anak panah, dan jawaban Nakula lebih banyak lagi yakni dahan, pohon, daun, burung, buah, dan benalu. Tiga kali juga Nakula menjawab pertanyaan sang guru dan Nakula meninggalkan tempat latihan memanah sebelum melepaskan anak panah atas permintaan sang guru.
            Kesempatan ketiga dan keempat yakni Yudhistira dan Sadewa mengalami peristiwa yang tidak jauh berbeda. Sehingga pada kesempatan kelima atau terakhir yakni Arjuna. Ketika hendak melepaskan anak panah, Arjuna juga ditanya oleh sang guru tentang apa yang dilihat di atas sana. Dengan mantap Arjuna menjawab ‘Burung’, mendengar jawaban mantap dari Arjuna tersebut maka sang guru membiarkan Arjuna untuk melepaskan anak panah. Dan ‘cless’ burung yang dibidik dalam pelajaran memanah tersebut terkena tepat pada perutnya hingga terjatuh dari atas pohon.
            Setelah kejadian itu, sang guru memanggil kembali seluruh muridnya untuk berkumpul. Guru memberikan arahan serta pelajaran penting apa yang bisa dipetik dari pelajaran memanah hari itu. Yudhistira, Bima, Nakula, Sadewa tidak menyangka bahwa jawaban mereka sebelum memanah sama semua. Dan Arjuna yang telah lama terkenal sebagai jago memanah diminta memberikan mengatakan jawaban apa yang dikatakan kepada sang guru, sehingga guru membiarkan Arjuna melepaskan anak panah, dan tepat mengenai sasaran hanya sekali panah.
            Arjuna mengatakan bahwa yang ia lihat ketika diminta memanah seekor burung adalah hanya burung itu saja. Para saudara Arjuna tersebut terheran heran, kenapa yang dilihat Arjuna hanya burung saja, sedangkan diatas pohon sana ada banyak hal yang bisa dilihat. Sang Guru kemudian menjelaskan bahwa dalam pelajaran memanah maupun dalam kehidupan kita, hendaknya selalu focus. Ketika diminta memanah burung, maka berfokuslah pada burung tersebut, jangan melihat yang lain selain focus pada gerak gerik burung tersebut. ketika kita berfokus pada apa yang hendak kita ingini maka tidak mustahil hal tersebut akan tercapai seperti halnya burung tersebut.
            Dewasa ini, dalam dunia pendidikan khususnya di Indonesia, telah terjadi tren yang baik yaitu meningkatnya jumlah peminat yang ingin menjadi calon guru. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya para mahasiswa yang menempuh jenjang kuliah di fakultas keguruan. Dahulu fakultas ini hanya dijadikan pelarian ketika tidak diterima di jurusan lain, atau juga bisa dikatakan sebagai fakultas nomor dua. Akan tetapi saat ini menjadi kabar gembira bagi bangsa ini khususnya, karena sosok guru mulai menjadi primadona untuk ukuran anak muda di era modern saat ini. meskipun tidak dapat menutup mata bahwa fenomena tersebut juga terjadi karena peran pemerintah yang mulai serius memperhatikan gaji maupun tunjangan bagi para guru saat ini melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat.
            Melalui cerita pewayangan di atas mungkin kita bisa mengambil pelajaran bahwa, fenomena meningkatnya peminat menjadi calon guru yang mulai naik saat ini, bisa kita ambil pelajaran dari sang guru bahwa ketika dimulai dari awal yakni memilih jurusan pendidikan, maka berfokus yang dilihat hanyalah jurusan tersebut. ketika dalam proses memilih dan yang dilihat masih jurusan-jurusan yang lain maka sang guru akan meminta kita untuk meletakkan pena kita dan jangan di ‘klik’ atau di ‘centang’ pilihan jurusan yang hendak kita pilih. Ketika yang dilihat hanya jurusan pendidikan maka dengan membaca bismillah serta kemantapan hati maka pilihlah jurusan pendidikan tersebut maka niscaya akan menjadi guru yang sebenar-benarnya guru. Bukan guru pelarian yang berfokus pada gaji, tunjangan, status sosial, dll.
            Banyak kita ketahui bersama bahwa, para mahasiswa saat ini ketika hendak memilih jurusan mereka tidak berfokus pada satu jurusan yang ia bidik. Terkadang melihat jurusan-jurusan lain yang hanya bergengsi di masa itu. Sehingga apa yang ia pilih dan jalani kedepan bukanlah pilihan yang tepat dan melahirkan pengangguran-pengganguran intelektual di Indonesia.
            Bila suara hati anda mengatakan untuk membidik fakultas pendidikan untuk menjadi guru. Maka katakan fakultas pendidikan saja yang anda lihat dan berfokuslah pada pilihan anda kemudian berjuanglah dalam perjalanan melepas anaka panah hingga anak panah tersebut sampai dan tepat sasaran menjadi guru professional yang mampu mengangkat Negara ini dari ketertinggalan dari Negara lain. 
         untuk para pemuda yang ingin bersama membangun bangsa ini, fokuskan satu tujuan untuk menjadi guru dan 'lepaskan' panah tujuanmu tersebut sehingga jadilah guru yang expert di bidangmu. JIa.. You...



Malang, 24 Juli 2015