Gerakan
yang digalakkan oleh pemerintah seperti gerakan ayo mondok adalah salah satu
bentuk akumulasi kekahwatiran para orang tua saat ini terhadap masa depan
anak-anaknya. Fenomena-fenomena dampak
globalisasi seperti tawuran, seks bebas usia remaja, narkoba, serta tayangan
televisi maupun internet yang berperan sebagai racun moral nampaknya agak tidak
mudah untuk dicegah maupun diobati. Ustadz Yusuf masnyur memberikan gambaran
globalisasi seperti kita tinggal di tepi pantai dan ombak lautan adalah arus
globalisasi yang semakin tinggi, karena sebuah keadaan yang niscaya maka ombak
tersebut akan terus menghempas tepian laut.
Tiga gambaran masyarakat kita saat ini dalam
menghadapai globalisasi atau ombak lautan tersebut adalah pertama, dengan
menutup rapat dengan pagar yang tinggi di tepi pantai supaya rumah tidak
terkena ombak globalisasi, sehingga warga rumah aman dari ombak dan tidak tahu
menahu tentang perkembangan yang dibawa oleh globalisasi. Kedua, pindah rumah
yang jauh dari arus ombak atau globalisasi supaya tidak terpengaruh dan hidup
konservatif jauh dari perkembangan jaman, dan yang ketiga, membiarkan posisi
rumah seperti sedia kala akan tetapi mengajari para penghuni rumah maupun warga
sekitar untuk pandai-pandai menangkap ikan atau hewan laut yang terkandung
dalam laut.
Globalisasi membawa manfaat dan mudharat atau
dampak buruk bagi siapapun yang hidup di era saat ini. ketiga pilihan diatas
adalah solusi bagi siapapun yang harus diambil oleh setiap orang. Dalam konteks
pendidikan anak atau generasi muda saat ini, umumnya para orang tua cenderung
mengalami ketakutan atau kekhawatiran akan adanya arus globalisasi ini,
didukung juga ketidakmampuan mereka dalam membina putra-putrinya dirumah serta
mengajari mengail manfaat dari ombak laut. Ketiga solusi diatas masing-masing
memilliki resiko. Solusi pertama dan kedua tentu resikonya adalah akan
tertinggal jaman. Solusi yang ketiga mungkin menjadi solusi yang perlu diambil
oleh para orang tua. Mengajari anak-anak mereka pandai menangkap manfaat dari
ombak globalisasi. Pusat-pusat belajar menangkap manfaat globalisasi adalah di
rumah, sekolah, dan masyarakat .
Bila dari rumah para orang tua belum mampu
mengedukasi putra-putrinya maka umumnya mereka melimpahkan tugasnya kepada
sekolah. Bermunculannya sekolah-sekolah berlabel agama di kota-kota maupun di
pinggiran merupakan kabar gembira bagi dinamisasi pembentukan akhlaq penerus
bangsa yang setapak demi setapak mengalami dekadensi moral saat ini. Namun
perlu diketahui bahwa Prof. Imam Suprayogo menemukan bahwa kota bukanlah tempat
yang tepat untuk membina akhlak peserta didik, karena kota adalah tempat untuk
bersaing. Lalu bagaimana solusinya dalam membina akhlak peserta didik?. Prof
Imam mengatakan bahwa tempat yang tepat untuk membina akhlak adalah di desa.
Kenapa di desa? Karena desa masih steril dari arus negatif.
Bagaimana dengan sekolah di kota yang bervisi
memperbaiki akhlaq peserta didik? Solusinya adalah ada pada gurunya, setiap
guru adalah ustad. Masyarakat kita lebih mengenal guru yang ustad adalah guru
agama, padahal sejatinya semua guru baik itu guru penjaskes, kesenian, tematik,
maupun kepala sekolah adalah ustad, bila guru berperan sebagai ustad, maka guru
tersebut akan berfokus pada akhlaq peserta didik, guru yang ustad akan
menyuguhkan diri sebagai sosok yang religius, guru yang ustad akan menyuguhkan
diri yang memiliki pribadi berkarakter dan santun serta lebih menjaga diri dari
arus negatif globalisasi, sehingga kekhawatiran orang tua terhadap arus
globalisasi dapat teredam karena ada pada diri guru di sekolah sebagai ‘pawang’
globalisasi.
Guru yang ustad ibarat petani, senantiasa
menyayangi segenap jiwa serta merawat tanaman (peserta didik) dari bibit hingga
tumbuh besar. Setiap kali ada hama yang mendekat maka guru tersebut sigap mengambil
tindakan untuk menghindarkan tanaman dari hama, guru juga ketika merawat
tanaman tidak akan memberikan tanamannya
dengan bahan kimia atau pupuk kimia, guru lebih memilih pupuk-pupuk organik
yang sehat dan aman. Guru organik akan menghasilkan tanaman organik karena
lebih mengutamakan kualitas dari pada hasil yang kamuflase. Sehingga pada
puncak panennya peserta didik organik yang dilepas di pasaran akan dihargai
mahal, bentuknya sama dengan yang lainnya akan tetapi kualitasnya yang berharga
mahal dan menyehatkan.
Guru-guru
organik umumnya kita dapat jumpai di pondok-pondok pesantren dan mulai nampak
pada sekolah-sekolah berlabel agama seperti sekolah islam maupun katolik. Semua
mulai berbenah diri untuk bertransformasi menjadi guru organik. Sehingga
gerakan ayo mondok mungkin dapat ditambah lagi dengan gerakan ayo sekolah di
sekolah berlabel agama. Gerakan tersebut dapat mewadahi para orang tua yang
tetap ingin bersama buah hatinya tinggal di tepi pantai dan menikmati nyanyian
ombak globalisasi tanpa harus termakan oleh ombak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar