WUKA….!
Diawal saya sampaikan kepada
anak-anakku bahwa ketika hendak belajar diri kita wajib bahagia terlebih
dahulu, karena dengan diri yang bahagia maka proses selanjutnya dalam belajar
akan dengan mudah mendapatkan manfaat dari pembelajaran.
Judul cerita komedinya adalah WUKA. Seorang
politisi hendak mencari suara di daerah pemilihan tempat ia mencalonkan diri. Kebetulan
tempat beliau terdapat area pedalaman yang harus ia kunjungi untuk mengais
suara.
Sesampai di pedalaman, sang politisi
disambut hangat oleh kepala suku setempat. Saudara-saudara, kalau saya jadi
bupati nanti kesehatan akan gratis di disini..! ‘janji politisi tersebut di
atas panggung. Seluruh warga berteriak ‘WUKA’. Saudara-saudara, kalau saya jadi
bupati, maka jalan-jalan menuju wilayah ini akan saya perbaiki segera..!. Seluruh
hadirin tambah keras bersama-sama mengatakan ‘WUKAAA’. Mendengar sambutan warga
pedalaman yang semakin semangat, maka politisi tersebut lebih menggebu-gebu
lagi melontarkan janji-janji politiknya.
Saudara-saudara, kalau saya jadi
bupati maka nanti akan saya berikan pendidikan gratis bagi anak-anak yang
kurang mampu. ‘WUKAAAA’…! Teriak para warga lebih lantang sembari
mengangkat-angkat dan mengepalkan tangan mereka semua. Dan ketika selesai orasi
semua warga teriak WUKA, WUKA, WUKA. Sang
politisi dengan bangga dan sumringah menuruni tangga panggung dan penuh
keyakinan bahwa para warga akan memilihnya nanti.
Setelah orasi, sang politisi
penasaran melihat bangunan megah dan tinggi yang berada di dekat panggung
orasi. Sang politisi penasaran dan bertanya kepada kepala suku perihal bangunan
tersebut. ternyata bangunan tersebut adalah kandang kuda kebanggaan warga
setempat yang gagah dan besar-besar. Sembari menuju pintu masuk kandang kuda
sang politisi bertanya ‘Bolehkah saya masuk melihat kuda-kuda tersebut’? .
Boleh saja, akan tetapi bapak kan memakai jas, dasi serta sepatu yang
mengkilap, nanti kalau di dalam takutnya bapak menginjak WUKA dan kotor. Hehehehe…
Cerita di atas memang lucu bagi yang
menyimak dengan baik. Pada tulisan kali ini mungkin saya mencoba mengaitkan
pada konteks tentang guru mengajar. Guru kita tahu bahwa ia sebagai sosok yang
di gugu dan ditiru. Barang siapa berani mengklaim diri sebagai ‘guru’ maka
konsekuensinya adalah tidak boleh berhenti belajar. Prinsip guru terbaik adalah
senantiasa membaca, menulis, dan mengajarkannya. Bila guru jadul, maka dapat
dipastikan gaya mengajarnya tidak berpower, kuno, dan monoton, tidak ada
inovasi, sehingga para murid menjadi bosan dan jangan sampai mereka
teriak-teriak seolah-olah paham akan materi yang kita sampaikan secara
menggebu-gebu di depan kelas akan tetapi maknanya adalah mirip yang diteriakkan
warga pedalaman pada cerita di atas. Mari para guru, kita berubah dan
senantiasa terus mengembangkan diri untuk terus maju, karena guru yang
mengembangkan diri dengan membaca, mengikuti seminar, menulis, dll maka gaya
mengajarnya dapat dipastikan akan menarik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar