Poor Is Sin…!
Kedua, miskin karena merasa kurang adalah
mentalitas bangsa ini, mereka sebenarnya mampu akan tetapi mengklaim dirinya
miskin dengan manipulasi data maupun cara lainnya. Masyarakat Indonesia model
ini lebih sengsara bila fakir sinyal dari pada fakir miskin, pergeseran fakta
tersebut merujuk pada era digital saat ini (Sumardianta 2014), mereka lebih
rela disebut fakir miskin dari pada fakir pulsa. Membela membeli pulsa dari
pada membeli bensin yang naik, membela membeli HP keluaran terbaru dari pada
menyekolahkan anak disekolah yang berbiaya sedikit tinggi.
Kemiskinan selanjutnya adalah miskin ilmu,
dengan miskin ilmu akan berdampak pada seluruh aspek kehidupan. Konsumtif
masalah teknologi, hanya membeli tidak bisa membuat juga termasuk kategori
miskin ilmu, bangsa korea memilki motto negaranya adalah ‘barang siapa yang mengaku
bangsa korea maka harus bangun pagi’, bangun pagi dengan dua makna tersebut
yakni, bangun lebih pagi untuk beraktifitas maupun bangun pagi dalam artian
lebih dahulu merebut jutaan ilmu yang tersebar dijagat raya ini lebih awal,
karena mereka meyakini bahwa barang siapa yang bangun pagi maka akan memiliki
ilmu lebih banyak, barang siapa menguasai ilmu pengetahuan maka akan menguasai
dunia. Sama halnya dengan bangsa Malaysia dan singapura, mereka secara
astronomis masih mengikuti Waktu Indonesia Barat (WIB), akan tetapi lebih
memilih memajukan waktunya satu jam lebih cepat dari pada Indonesia dengan
pertimbangan ekonomi, mereka tidak jarang shalat subuh di jalan ketika hendak
berangkat sekolah maupun kerja, karena ketika kita bangsa Indonesia masih
terlelap tidur, justru mereka satu jam lebih awal bangkit dan satu jam lebih
akhir selesai sekolah maupun kerjanya, dan hasilnya adalah mereka lebih maju,
meskipun secara kasat mata tidak memiliki kekayaan alam, akan tetapi karena
kita kaya sumber daya alam tapi miskin ilmu sehingga tertinggal jauh dari
tetangga kita tersebut. mereka mampu mengendalikan Negara-negara yang kaya akan
sumber daya alam untuk dieksploitasi kekayaannya melalui kekayaan intelektual
mereka guna memiskinkan Negara kaya seperti kita.
Ditinjau dari segi pendidikan, kekayaan Singapura,
Malaysia, dan Indonesia dari jumlah hasil karya tulis mereka masih sangatlah njomplang
atau tinggi deviasinya, singapura
dengan 3000 karya tulis setiap tahunnya, Malaysia dengan 600 sedangkan
Indonesia 300, maka otomatis singapura lebih maju dan lebih kaya, karena indikator
negara maju adalah jumlah karya tulisnya (Masduki 2014),dengan banyaknya ilmu
pengetahuan yang mereka ikat melalui karya tulis tersebut, maka mereka lebih
banyak tahu dan lebih cerdas dalam bertindak. Bangsa Indonesia baru belajar
membaca, belum menulis, begitulah FB, Twitter, Whatsup, BBM, dan Instagram,
semuanya berisi hanya keluh kesah yang tak bermakna, sementara negara lain
berfikir jauh kedepan dengan karya tulisnya.
Dengan
fakta terseabut, tentu kita semua sebagai warga Negara Indonesia terkena hukum
yang dikatakan Bill Gate, yakni Poor is Sin. Kita miskin pengetahuan, kita
miskin karya, kita miskin kreatifitas, maka ketika kita miskin karya,
pengetahuan, kreatifitas maka berdosalah kita semua.
Ketika
arah perbincangan berpindah ke kurikulum pendidikan kita, dimana salah satu
jalan untuk menjadikan kita kaya, baik kaya harta maupun kaya ilmu pengetahuan adalah
melalui pendidikan, ketika kurikulum disinggung maka masih ada yang bisa kita
banggakan, kurikulum kita dinamis, kaya akan konsep, kaya akan pakar-pakar yang
mampu merumuskan kurikulum, serta kaya akan undang-undang yang mengatur tentang
kurikulum kita. Sayangnya kita miskin implementasi, miskin ketegasan, dan
miskin konsistensi. Ketika pemerintah Singapura mengharamkan permen karet
berada di negaranya maka mereka menunjukkan kekayaan akan implementasi,
ketegasan, dan konsistensi. Kaya dalam artian luas pun turut menunjang sebuah
Negara menjadi besar, maju, dan tidaklah miskin dalam artian sempit yakni
miskin sumber daya alam akan tetapi kaya dalam segala aspeknya meskipun dalam
keterbatasan.
Negara
ini justru senantiasa konsisten dengan ketidakkonsistenannya, ketegasan terlalu
murah untuk didamaikan ditempat melalui uang, dan implementasi menjadi
amburadul. Negara ini bahkan dijuluki Negara start, yakni Negara yang
senantiasa memulai terus dari awal, dengan dalih penyempurnaan, padahal
sejatinya merombak semuanya, memulai dari awal, tujuan jangka panjang
senantiasa berbelok bahkan sering berubah tujuan ketika berganti pimpinan. Apakah kita miskin? Ayolah negaraku, aku tahu
kau mendengar kegalauan kami, bonus demografi mungkin bisa menjadi pelipur
lara, anak usia 10-24 tahun akan berjumlah 6,7 juta. Pertanyaannya adalah
mampukah kita mengoptimalkan mereka untuk mengangkat Negara ini yang sedang
bersusah payah bangkit dari karamnya karakter, tauladan, dan mentalitas
miskin?. Bukan rumput yang bergoyang yang bisa menjawabnya, tapi kita, saat
ini, dan dimulai saat ini juga.
qasanalbana@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar