Kamis, 08 Desember 2016

ILMU



 

ILMU

Sebuah keputusan dapat didayagunakan bila kita telah memiliki ilmu, informasi, dan wewenang. Ilmu pengetahuan diibaratkan sebagai sebuah pelita, di tengah kegelapan ilmu akan menjadi penerang. Di tengah ancaman, kegalauan, kesempitan ilmu akan menjaga si empunya.
            Dengan kata lain, ilmu menjadi alat ukur untuk sukses, Pesan yang diwasiatkan Nabi Muhammad kepada kita semua adalah barang siapa menghendaki kesuksesan dunia, ia perlu ilmu. Siapa yang mengharapkan kesuksesan akhirat, ia perlu ilmu. Dan siapa yang menghendaki keduanya, sangat diperlukan ilmu pula.
            Karena ilmu sangat sentral keberadaannya, Nabi mewajibkan bagi setiap Muslim/ Muslimah menuntutnya. Ciri khas dari manusia bertumbuh adalah sealalu belajar. Belajar dari apa dan siapa saja. Ada sebuah kisah, yaitu ketika Socrates yang ada di penjara menunggu hukuman matinya, ia mendengar seseorang sedang menyanyikan lirik yang pelik karangan Stesichoras. Socrates memohon kepada penyanyi itu agar mengajarkan lirik tersebut kepadanya. Ketika ditanya mengapa ia minta diajarkan lagu itu, filusuf besar itu menjawab, “saya ingin mati dengan mempelajari satu hal baru lagi.” Socrates adalah pembelajar sejati. Meskipun ajal mau menjemput, Socrates tetap mau belajar hal yang baru. Sehingga Ilmu wajib untuk didapatkan tidak perduli Tua-Muda, besar- kecil, laki-perempuan, begitu ia dilahirkan hingga ajal menjemput, tak seinci pun mereka lepas dari perintah mencari ilmu.
            Sebegitu pentingnya peran ilmu sehingga ayat-ayat tentang ‘ilm bertebaran dalam Al-Qur’an. Begitu pentingnya ilmu untuk dikuasai juga terdapat pada fiman Allah yang dimulai dengan Iqra’. Bacalah!  Karena membaca adalah jendela meraih ilmu, membaca menambah wawasan. Wawasan yang luas akan memberikan perspektif yang menuntun seseorang bagaimana ia seharusnya merespon apa yang dia lihat, apa yang dia dengar, apa yang dia rasakan. Orang yang berilmu menghadapi sesuatu dengan tenang, sebaliknya yang cekak ilmunya, sering panik, terburu-buru yang pada akhirnya merugikan dirinya sendiri.
Janji Allah dalam Al-Qur’an adalah: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. 58:11)
            Kok bisa begitu? Cukup mudah untuk mencari jawabannya, karena hanya mereka yang menguasai ilmu, yang akan bisa menunaikan amanah sebagai pengelola dan pemimpin di muka bumi (khalifatullah fil ardh). Bisa dimengerti Nabi cemas bila umatnya terdiri atas kumpulan orang-orang dungu
            Orang-orang bodoh tak bakal mampu memerankan fungsi khalifatullah fil ardh. Bila bumi dipimpin oleh orang-orang tak menguasai ilmu, bukan peradaban yang dibangun, tapi kerusakan yang diperoleh, sebab itu dalam kaitannya ilmu, Nabi Muhammad mewanti-wanti umatnya untuk bisa memenuhi empat kategori figure: mualliman (orang yang mengajarkan), muta’aliman (orang yang belajar), mustami’an (orang yang mendengar majelis ilmu), dan muhibban (orang yang menyenangi ilmu). Dan jangan menjadi orang yang ke-5 (yakni tidak menjadi satu pun dari empat kategori itu) karena ia akan rusak/ celaka.

 qasanalbana@yahoo.com








Minggu, 30 Oktober 2016

DAYA PIKAT GURU ?



DAYA PIKAT GURU

            Ketika mendapati seorang gadis dengan rambut terurai cantik, berwarna hitam mengkilap, serta body gadis tersebut yang ramping berpadu dengan wajah putih berseri dengan balutan bibir merah merona serta tinggi badan semampai, serta memiliki kecerdasan yang istimewa tentu banyak kaum adam yang terpesona dan ingin memilikinya. Itulah daya pikat sang wanita.
            Surga diciptakan dengan segala isinya yang berisi bidadari-bidadari, sungai-sungai mengalir indah, pohon-pohon serta buah-buahan yang melimpah, serta kesenangan-kesenangan yang dijanjikan didalamnya. itulah daya pikat surga, sehingga banyak orang yang ingin memasukinya.
            Dari dua contoh daya pikat di atas, bagaimana dengan daya pikat profesi guru? Jamak kita ketahui bahwa guru identik dengan tukang ngebon diwarung dan membayarnya ketika gajian, itupun membayar sambil ngebon lagi. guru yang telah identik dengan gaji pas-pasan, guru yang kendaraannya senantiasa butut, profesi yang tidak menjanjikan sama sekali di Negara ini dalam kurun waktu 2 dekade belakangan ini. namun lambat laun profesi guru mulai naik daun, daya pikat mulai berkalap kelip bagaikan bintang berkedip bersanding di sebelah bulan purnama. Guru adalah profesi yang paling sehat, guru adalah profesi yang menjanjikan pahala akhirat yang sangat menggiurkan, guru adalah profesi yang paling dianggap terhormat di masyarakat, ketika ada pemilihan ketua RT pasti yang dicalonkan adalah sosok guru, karena masyarakat menganggap sosok guru adalah multi talenta, mampu melakukan segala bentuk kegiatan di masyarakat. Guru saat ini juga profesi yang banyak dilirik oleh kaum muda, dari segi gaji mulai merangkak naik dikarenakan ada tunjangan profesi guru atau program sertifikasi dari pemerintah. Itulah daya pikat guru
            Apakah guru masih cukup seksi saat ini?

To be continued.....


Senin, 10 Oktober 2016

Sirkuit Balap Pendidikan










Anak-anak kita berlari terus menerus dibawah ancaman cambuk bernama waktu. Setiap keterlambatan akan disambut kekhawatiran, pemberian label dan perlakuan yang tidak mengenakan.
Pendidikan dianggap sebagai proses menyiapkan anak-anak untuk menghadapi kehidupan. Persepsi orang dewasa mengenai kehidupan sebagai sebuah kompetisi menjadi acuan utama dalam merancang pendidikan, pendidikan yang berdaya saing global. Logika kompetisi ini yang kemudian melahirkan sirkuit balap pendidikan.
Pendidikan Ibarat Sirkuit Balap
Indikator utama sirkuit balap adalah kecepatan. Siapa yang paling cepat mencapai garis akhir akan menjadi juara. Sorak sorai, ucapan selamat dan hadiah menjadi milik sang juara. Sementara, mereka yang tertinggal diabaikan, dicemooh atau bahkan dikeluarkan pada musim balap selanjutnya.
Semakin bergengsi sebuah lomba balap, semakin besar dana yang harus disediakan untuk mengikutinya. Semakin sengit pula suasana persaingan antar pembalap dan tim. Suasana di lapangan semakin panas, berbagai cara dilakukan agar bisa menang.
Bukan hanya pembalap, pabrikan pun ikut berlomba. Mereka siap mengeluarkan dana besar untuk menyiapkan mobil balap yang paling canggih. Mereka mencari calon pembalap yang paling berpotensi menjadi juara.
Dalam sirkuit balap pendidikan, sekolah menjadi pabrikan dan siswa menjadi pembalap. Sekolah negeri yang berkewajiban mendidik semua anak berubah menjadi selektif. Mereka lebih suka menerima murid yang kemampuan akademisnya menonjol, yang memudahkan sekolah mencapai target. Anak-anak yang lemah kemampuan akademisnya dipaksa menyingkir ke “sekolah biasa”.
Anak-anak dituntut belajar semakin dini. Menjamurlah les yang menjanjikan anak mampu calistung (baca, tulis, berhitung) secara kilat. Taman kanak-kanak menyiapkan kurikulum tambahan agar anak belajar calistung. Seleksi masuk SD tidak mensyaratkan calistung, tapi orangtua tahu anaknya harus bisa calistung untuk mengerjakan Ujian Tengah Semester hanya 3 bulan setelah duduk di kelas 1.
Bila anak di sekolah terlihat kurang mampu mengikuti pelajaran, sekolah menambah les khusus. Semua harus lulus ujian nasional demi nama baik sekolah. Orangtua pun tidak mau kalah, anak-anak dikirim ke bimbingan belajar, apalagi bila anaknya lemah di suatu pelajaran.
Kurikulum 2013 semakin menambah beban anak dengan waktu belajar yang 36 jam. Apa artinya? Ditambah 4 jam lagi maka anak-anak Sekolah Dasar menanggung beban setara dengan jam kerja orang dewasa. Anak-anak belajar banyak hal sehingga kehabisan waktu untuk belajar mengenai dirinya sendiri.
Pada titik ekstrim, ada orangtua yang berkonsultasi menanyakan potensi anak dan arah studi anaknya yang baru berusia 3 bulan. Logika semakin cepat semakin baik menjadi acuan orangtua karena menyaksikan sistem pendidikan yang seperti sirkuit balap. Anak-anak terus menerus dituntut berlari mengejar target agar menjadi juara di sirkuit balap.
Pendidikan sebagai Taman
Ki Hadjar Dewantara telah mengkritik kecenderungan untuk mengajar calistung pada anak sebelumnya masanya. Pendidikan bukanlan sirkuit balap, tapi sebuah taman. Setidaknya ada 3 ciri pendidikan sebagai taman yaitu pertama, kemerdekaan. Kita datang ke taman karena kesukarelaan, bukan paksaan dari pihak lain. Pendidikan bukanlan menuntut anak, tapi menumbuhkan kesukarelaan anak untuk belajar. Bukan terpaksa belajar, tapi gemar belajar.
Kedua, ketertiban. Meski kita merdeka datang ke taman, tapi bukan berarti bebas sesuka hati. Pendidikan mendidik anak-anak untuk berlaku tertib. Bukan tertib yang paksakan, tapi tertib yang tumbuh dari kesadaran untuk menjaga kegembiraan bersama.
Ketiga, kebahagiaan. Orang datang ke taman bukan bertujuan untuk mendapatkan piala atau jadi juara, tapi datang untuk bersenang hati. Pendidikan bukan untuk mencetak manusia juara, tapi manusia bahagia. Kebahagiaan dapat dicapai bila anak bisa mengaktualisasikan potensi dirinya. Setiap anak mempunyai kodratnya sendiri. Pendidik tidak bisa memaksa atau mendikte, tapi hanya bisa menuntut tumbuhnya kodrat tersebut. Selanjutnya, pencapaian kebahagiaan tercapai ketika anak bisa menggunakan potensi dirinya untuk memberi manfaat pada orang lain.
Gagasan Ki Hajar Dewantara ini kembali di tegaskan oleh Menteri Anies Baswedan. “Ki Hajar Dewantara menyebutkan bahwa pendidikan sebagai taman, yakni tempat yang menyenangkan, tempat anak-anak datang dengan senang hati, dan pulang dengan berat hati,” ujarnya di Kompas.
Mewujudkan Taman Pendidikan
Upaya mengubah pendidikan dari sebagai sirkuit balap menjadi sebuah taman harus didukung oleh semua pihak. Kementrian pendidikan dan kebudayaan harus mengubah indikator keberhasilan pendidikan. Keberhasilan pendidikan jangan lagi diukur dari kecepatan lulus, tapi dari kebahagiaan yang dirasakan dan manfaat yang diberikan peserta didik. Perubahan indikator akan mengubah proses, mekanisme dan budaya yang berkembang dalam lingkungan pendidikan.
Guru harus lebih sering berinteraksi dengan murid untuk mendengarkan aspirasi dan memahami peserta didik. Bantu peserta didik mengenali dan mengoptimalkan potensinya. Anak bukan kertas kosong yang dipaksa belajar, tapi subyek pembelajaran yang butuh penguatan dari guru.
Orangtua perlu belajar mengenai tumbuh kembang anak. Berhenti mengenakan standar pada anak. Hargai keunikan anak termasuk menghargai potensi dan kecepatan belajar anak. Bersikaplah menjadi pendukung, bukan penuntut terhadap anak. Jadikan kebahagiaan sebagai acuan dalam mendidik anak.
Bukik Setiawan