Anak-anak
kita berlari terus menerus dibawah ancaman cambuk bernama waktu. Setiap
keterlambatan akan disambut kekhawatiran, pemberian label dan perlakuan yang
tidak mengenakan.
Pendidikan
dianggap sebagai proses menyiapkan anak-anak untuk menghadapi kehidupan.
Persepsi orang dewasa mengenai kehidupan sebagai sebuah kompetisi menjadi acuan
utama dalam merancang pendidikan, pendidikan yang berdaya saing global. Logika
kompetisi ini yang kemudian melahirkan sirkuit balap pendidikan.
Pendidikan
Ibarat Sirkuit Balap
Indikator
utama sirkuit balap adalah kecepatan. Siapa yang paling cepat mencapai garis
akhir akan menjadi juara. Sorak sorai, ucapan selamat dan hadiah menjadi milik
sang juara. Sementara, mereka yang tertinggal diabaikan, dicemooh atau bahkan
dikeluarkan pada musim balap selanjutnya.
Semakin bergengsi sebuah lomba balap, semakin besar dana yang harus disediakan untuk mengikutinya. Semakin sengit pula suasana persaingan antar pembalap dan tim. Suasana di lapangan semakin panas, berbagai cara dilakukan agar bisa menang.
Semakin bergengsi sebuah lomba balap, semakin besar dana yang harus disediakan untuk mengikutinya. Semakin sengit pula suasana persaingan antar pembalap dan tim. Suasana di lapangan semakin panas, berbagai cara dilakukan agar bisa menang.
Bukan hanya
pembalap, pabrikan pun ikut berlomba. Mereka siap mengeluarkan dana besar untuk
menyiapkan mobil balap yang paling canggih. Mereka mencari calon pembalap yang
paling berpotensi menjadi juara.
Dalam
sirkuit balap pendidikan, sekolah menjadi pabrikan dan siswa menjadi pembalap.
Sekolah negeri yang berkewajiban mendidik semua anak berubah menjadi selektif.
Mereka lebih suka menerima murid yang kemampuan akademisnya menonjol, yang
memudahkan sekolah mencapai target. Anak-anak yang lemah kemampuan akademisnya
dipaksa menyingkir ke “sekolah biasa”.
Anak-anak
dituntut belajar semakin dini. Menjamurlah les yang menjanjikan anak mampu
calistung (baca, tulis, berhitung) secara kilat. Taman kanak-kanak menyiapkan
kurikulum tambahan agar anak belajar calistung. Seleksi masuk SD tidak
mensyaratkan calistung, tapi orangtua tahu anaknya harus bisa calistung untuk
mengerjakan Ujian Tengah Semester hanya 3 bulan setelah duduk di kelas 1.
Bila anak di
sekolah terlihat kurang mampu mengikuti pelajaran, sekolah menambah les khusus.
Semua harus lulus ujian nasional demi nama baik sekolah. Orangtua pun tidak mau
kalah, anak-anak dikirim ke bimbingan belajar, apalagi bila anaknya lemah di
suatu pelajaran.
Kurikulum
2013 semakin menambah beban anak dengan waktu belajar yang 36 jam. Apa artinya?
Ditambah 4 jam lagi maka anak-anak Sekolah Dasar menanggung beban setara dengan
jam kerja orang dewasa. Anak-anak belajar banyak hal sehingga kehabisan waktu
untuk belajar mengenai dirinya sendiri.
Pada titik
ekstrim, ada orangtua yang berkonsultasi menanyakan potensi anak dan arah studi
anaknya yang baru berusia 3 bulan. Logika semakin cepat semakin baik menjadi
acuan orangtua karena menyaksikan sistem pendidikan yang seperti sirkuit balap.
Anak-anak terus menerus dituntut berlari mengejar target agar menjadi juara di
sirkuit balap.
Pendidikan
sebagai Taman
Ki Hadjar
Dewantara telah mengkritik kecenderungan untuk mengajar calistung pada anak
sebelumnya masanya. Pendidikan bukanlan sirkuit balap, tapi sebuah taman.
Setidaknya ada 3 ciri pendidikan sebagai taman yaitu pertama, kemerdekaan. Kita
datang ke taman karena kesukarelaan, bukan paksaan dari pihak lain. Pendidikan
bukanlan menuntut anak, tapi menumbuhkan kesukarelaan anak untuk belajar. Bukan
terpaksa belajar, tapi gemar belajar.
Kedua,
ketertiban. Meski kita merdeka datang ke taman, tapi bukan berarti bebas sesuka
hati. Pendidikan mendidik anak-anak untuk berlaku tertib. Bukan tertib yang
paksakan, tapi tertib yang tumbuh dari kesadaran untuk menjaga kegembiraan
bersama.
Ketiga,
kebahagiaan. Orang datang ke taman bukan bertujuan untuk mendapatkan piala atau
jadi juara, tapi datang untuk bersenang hati. Pendidikan bukan untuk mencetak
manusia juara, tapi manusia bahagia. Kebahagiaan dapat dicapai bila anak bisa
mengaktualisasikan potensi dirinya. Setiap anak mempunyai kodratnya sendiri.
Pendidik tidak bisa memaksa atau mendikte, tapi hanya bisa menuntut tumbuhnya
kodrat tersebut. Selanjutnya, pencapaian kebahagiaan tercapai ketika anak bisa
menggunakan potensi dirinya untuk memberi manfaat pada orang lain.
Gagasan Ki
Hajar Dewantara ini kembali di tegaskan oleh Menteri Anies Baswedan. “Ki
Hajar Dewantara menyebutkan bahwa pendidikan sebagai taman, yakni tempat yang
menyenangkan, tempat anak-anak datang dengan senang hati, dan pulang dengan
berat hati,” ujarnya di Kompas.
Mewujudkan
Taman Pendidikan
Upaya
mengubah pendidikan dari sebagai sirkuit balap menjadi sebuah taman harus
didukung oleh semua pihak. Kementrian pendidikan dan kebudayaan harus mengubah
indikator keberhasilan pendidikan. Keberhasilan pendidikan jangan lagi diukur
dari kecepatan lulus, tapi dari kebahagiaan yang dirasakan dan manfaat yang
diberikan peserta didik. Perubahan indikator akan mengubah proses, mekanisme
dan budaya yang berkembang dalam lingkungan pendidikan.
Guru harus
lebih sering berinteraksi dengan murid untuk mendengarkan aspirasi dan memahami
peserta didik. Bantu peserta didik mengenali dan mengoptimalkan potensinya.
Anak bukan kertas kosong yang dipaksa belajar, tapi subyek pembelajaran yang
butuh penguatan dari guru.
Orangtua
perlu belajar mengenai tumbuh kembang anak. Berhenti mengenakan standar pada
anak. Hargai keunikan anak termasuk menghargai potensi dan kecepatan belajar
anak. Bersikaplah menjadi pendukung, bukan penuntut terhadap anak. Jadikan
kebahagiaan sebagai acuan dalam mendidik anak.
Bukik
Setiawan
Penulis Buku
Anak Bukan Kertas
Kosong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar